Minggu, 30 Desember 2012

Saat Musim Utara Tiba

NEKAT : Syukur (kiri) dibantu seorang pemuda membersihkan jaringnya dari sampah laut di pantai Kampung Sialang, Desa Berakit, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan, Sabtu (29/12) sore. Meski angin musim utara, nelayan ini kadang nekat melaut karena terdesak kebutuhan.

Nelayan Bintan Menghadapi Angin Musim Utara
Nekat Menantang Maut karena Tuntutan Perut

Syukur sibuk membuang sampah laut yang memenuhi jaring ketamnya. Tumpukan jaring diurainya dengan cekatan, seolah kedua tangannya memiliki mata. Sesekali ia menatap langit, kemudian mempercepat pekerjaannya. Angim musim utara telah memberi tanda akan segera datang, namun nelayan tradisional ini berharap ada waktu teduh untuknya, agar bisa tetap melaut meski taruhannya nyawa.

Nelayan Kampung Sialang, Desa Berakit, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan berusia 30 tahun ini bekerja sendiri. Padahal jaring ketamnya memiliki panjang 700 meter. Hari itu, kalender Desember tahun 2012 berada di tanggal 29.

"Desember sampai Februari selalu datang musim angin utara. Kebanyakan nelayan memilih tinggal di darat, mencari pekerjaan lain. Ada yang utang kebutuhan pokok atau uang kepada tauke ikan, tetapi saya tak mau seperti itu kalau tak sangat terpaksa," jawabnya sambil terus membuang sampah dari jaringnya.

Sebelum Syukur membersihkan jaring, siang itu hanya ada empat sampan nelayan di pantai Kampung Sialang. Karena surut, dari pantai sampai kira-kira 50 meter ke arah laut yang tampak hanya ratusan karang. Karang-karang berwarna abu-abu kehitaman ini berderat tak teratur menuju laut lepas. Di antara karang itulah sampan nelayan ditambatkan dengan tali. Tiap-tiap sampan memiliki satu tiang kayu di dekatnya untuk mengikat ujung tali.

Pantai yang memanjang di salah satu sisi jalan raya antara Pantai Trikora dan Pantai Semelur itu hening. Hanya debur ombak terdengar setiap kali gulungan air bergerak dari tengah menuju pantai. Jika pasang di musim angin utara, tinggi air laut bisa menyamai ketinggian badan jalan raya. Bahkan permukaan jalan aspal yang warnanya masih hitam tanda belum lama dibangun ini, pernah tergenang air laut.

Hanya kedai Bibi Warso yang ramai oleh celoteh beberapa pemuda Kampung Sialang. Mereka tampak gembira karena ada salah satu pemuda yang tampaknya baru pulang dari Tanjungpinang. Bagi mereka yang tinggal di kampung ini, Tanjungpinang adalah kota besar. Jaraknya memang hanya 33 kilometer, namun suasananya sangat berbeda. Jika Tanjungpinang menggeliat sebagai Ibu Kota Provinsi Kepri, Berakit masih lekat dengan suasana pedesaan.

Di antara mereka ada Nizam, Adi, Tarmizi, Ali, Mulyadi dan Trisman. Sementara Ardi, yang baru datang dari kota duduk di tengah anak-anak muda yang siang itu memilih menghabiskan waktu di darat ketimbang turun ke laut mencari ikan. Padahal dari hasil melaut mereka bisa membeli sepeda motor atau ponsel.

"Bahaya melaut di musim utara," ungkap Mulyadi. Usia lajang ini memang belum sampai 30 tahun, demikian juga dengan teman-temannya. Usia yang masih memiliki sisi keegoisan. Nyatanya mereka memilih aman dengan mencari pekerjaan sambilan lain saat angin musim utara tiba.

"Suara ombak itu masih kecul. Nanti kalau bulan Januari atau Februari, bergemuruh. Ombak dari laut bercampur suara angin yang kuat," timpal Ardi.

Saat Syukur turun ke pantai membersihkan jaring, anak-anak muda ini terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan.

Sementara itu Yusuf tengah sibuk memasang atap seng untuk rumah salah satu anak lelakinya. Rumah sederhana berukuran 3x6 meter didirikan hanya dibantu anak-anaknya. Bentuknya panggung. Hari itu yang tertutup baru separo atapnya. Dinding dan lantai masih berupa kerangka kayu. Lelaki berusia  49 tahun ini termasuk salah satu nelayan yang kadang menerjang musim angin utara dengan sampannya untuk mencari ikan. Siang itu ia meluangkan waktunya untuk menyelesaikan pemasangan atap. Bukan berarti selama musim angin utara ia absen sama sekali dari darah nelayan yang mengalir dalam tubuhnya.

Bersama Syukur, Yusuf mencuri-curi waktu di antara bertiupnya angin musim utara. Waktu ini disebut hari teduh. Hari ini dipilih ketika angin tak terlalu kencang. Resikonya, angin bisa berubah sewaktu-waktu saat nelayan-nelayan ini berada di tengah laut. Sama seperti saat di luar angin musim utara, mereka akan turun sehabis subuh dan pulang jam 11.00 WIB, bisa lebih siang jika ikan sedang banyak.

Musibah bukan tak pernah menghampiri bapak tiga anak kelahiran Buton, Sulawesi ini. Ia lupa waktunya, yang diingat saat itu sudah menjelang kembali ke darat. Tiba-tiba ombak menggulung sampannya hingga terombang-ambing dengan keras. Usahanya untuk menyeimbangkan sampan agar tak stabil tak mampu. Dorongan ombak yang terus menerus datang disertai angin membuatnya sadar bahwa ia harus tetap berada di atas sampan. Kebetulan saat itu ia sendirian.

"Saya hampir tenggelam, padahal jarak ke darat masih 6 mil lagi," kenang Yusuf.

Ia menghentikan pekerjaannya sebentar. Palu yang tadi sibuk dipukulkannya ke paku untuk atap diletakkan di atas kayu bagian atas langit-langit bakal rumah yang juga didudukinya. Ia menatap seorang anak lelakinya yang dari tadi menemaninya. Sang anak yang duduk di bawah memandang ayahnya. Saat tatapan keduanya beradu, Yusuf mengalihkan pandangan ke arah rumah dinas pegawai Puskesmas Kampung Berakit. Rumah beton permanen bercat dinding krem dan atap merah itu hanya 50 meteran dari rumah yang baru didirikannya.

Ia kemudian memerintahkan anak lelakinya membersihkan jaring dari sampah. Sementara ia meneruskan pekerjaannya. Udara yang dingin tak membuat Yusuf banyak berkeringat. Di sekeliling bakal rumah yang sedang didirikannya, masih banyak pohon kelapa dengan buahnya yang banyak. Di belakangnya ada hamparan rumput ilalang setinggi dada orang dewasa, ada juga pohon alpukat cukup besar yang masih menyisakan buah yang belum tua. Buah sebelumnya sudah dipetik untuk dijual pemiliknya. Sebuah sumur berair jernih dengan kedalaman lime meter menjadi tempat Yusuf membersihkan tangan dan kakinya jika nanti merampungkan pekerjaannya hari itu.

Dari Kampung Sialang, Tanjungpinang Pos menerobos hujan menuju Kampung Semelur. Jaraknya kira-kira tiga kilometer ke arah Pelabuhan Ferry Internasional Berakit yang dibangun Pemprov Kepri. Sepanjang perjalanan, harus awas memandang pantai di sebelah kiri jalan. Jika tak sedang angin musim utara, sore seperti itu banyak nelayan membersihkan jaringnya dari sampah untuk dipakai lagi besok pagi. Kadang mereka ditemani istri atau anggota keluarga lain. Namun sore itu hanya kelong apung dan sampan yang menghiasi pantai. Tak ada orang tampak di dekatnya.

Di belakang sebuah kedai mi rebus kayu yang cukup ramai oleh warga yang asyik membeli permen dengan nomor angka di dalamnya, Tanjungpinang Pos berhenti. Sambil memesan segelas dua gelas kopi o (istilah warga setempat untuk menyebut kopi panas tanpa campuran susu), kami bertanya apakah ada di antara pembeli di kedai itu yang berprofesi sebagai nelayan. Di tengah riuhnya tawa dan kegembiraan ketika nomor angka di dalam permen sama dengan yang tertera di hadiah yang disediakan, diperoleh jawaban nelayan memilih mencari pekerjaan sampingan saat musim angin utara.

Tak ingin kemalaman di jalan, perjalanan diteruskan ke arah Pelabuhan Ferry Internasional Tanjung Berakit. Lima kilometer di tengah hujan yang menurut keterangan warga turun sejak subuh, tak ada nelayan lain yang bisa dijumpai. Juga di pelabuhan ferry yang belum dioperasikan namun beerapa batang pohon palem yang ditanam sebagai peneduh meranggas karena kurang perawatan, yanga ada hanya dua warga tengah memancing. Kami kembali ke Kampung Sialang saat satu jam lagi azan maghrib berkumandang.

Saat kembali melewati kedai yang sebelumnya kami jadikan tempat menghangatkan tubuh dengan kopi o-nya, seorang warga tampak turun ke pantai. Namanya Abdul Sani, usianya kini 62 tahun. Warga Kampung Semelur yang menjadi nelayan sejak 1982 ini bercerita, saat angin utara tia dan ia nekat melaut temannya tenggelam.

"Untung kami turun ke laut berdekatan, alhamdulillah nyawa teman itu tertolong," ujarnya. Perbincangan dengan bapak dua anak ini tak berlangsung lama karena hujan kembali turun lebat. Kami berpencar mencari tempat berteduh.

Kewaspadaan nelayan senantiasa menjai imbauan petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Kepala BMKG Tanjungpinang, Hartanto ST MM, beberapa hari sebelumnya menjelaskan hingga akhir Desember 2012 masih berpotensi terjadinya hujan disertai angin dan petir. Karena itu pihaknya berharap seluruh warga, terutama yang tinggal di kawasan pesisir untuk meningkatkan kewaspadaan.

Meski angin utara tidak lagi kuat, Namun Hartono mengingatkan gelombang tinggi di pesisir pantai bisa saja terjadi. Kondisi ini terutama di perairan Tanjungpinang, Bintan, Batam dan Karimun.

Imbauan yang sama juga disamaikan Kepala BMKG Anambas, Anggriono. Menurutnya, Jumat (14/12), Anambas mulai memasuki musim utara. Selama musim utara, tinggi gelombang di perairan Bintan dan Anambas mencapai dua sampai tiga meter, dengan kecepatan angin 05-18 knot.

“Biasanya musim utara telah dimulai pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Februari ataupun Maret,” jelasnya.


***

"Kelong yang saya jaga pecah. Kayunya lepas berantakan di tengah laut. Saya menceburkan diri di laut dan ditolong teman di kelong sebelah," pengakuan Sabri.

Bapak satu anak berusia 26 tahun ini menceritakan pengalaman yang tak akan pernah dilupakannya. Berbeda dengan Yusuf atau Syukur yang melaut dengan sampan milik sendiri, Sabri yang tinggal di Kampung Sialang adalah pekerja kelong milik tauke. Pemilik tauke menyediakan kelong dan kebutuhan menangkap ikan, hasilnya akan dibagi dua setelah dipotong biaya operasional.

Kelong adalah bangunan dari kayu yang disusun sedemikian rupa dengan tali dan beberapa bagian dipaku. Di baawh ditempatkan puluhan drum kosong agar kelong mengapung. Bagian atas ditutup kayu yang sekaligus dijadikan lantai pondok yang dibuat di bagian atas. Ukuran kelong tak kurang dari rumah tipe 27. Jaring ditempatkan di bagian bawah lantai, antara deretan drum kanan dan kiri.

Keputusan melaut saat musim angin utara, selain untuk menutupi kebutuhan keluarga, juga memperkecil utangnya di kedai tauke. Karena bekerja untuk tauke, ia tak bisa menjual ikan hasil tangkapan ke pedagang ikan lain. Pernah dalam sebulan ia hanya menerima sebungkus rokok sebagai upahnya bekerja. Kondisi ini terjadi karena musim angin utara berlangsung tiga bulan, dari Desember hingga Februari. Jika Sabri tak bekerja selama tiga bulan penuh, sedangkan pekerjaan sambilan di darat tak didapatkannya, jalan satu-satunya utang ke tauke tadi.

Utang ke tauke menjadi hal biasa bagi nelayan pekerja kelong. Menurut Ketua Nelayan Cakalang, Kampung Senggiling, Japar, setiap musim utara nelayan hanya menganggur. Kalau tabungan habis, mereka akan berutang kepada tauke dengan kompensasi penjualan ikan pada musim selatan harus ke tauke tadi dengan harga yang lebih rendah dari pasaran. "Tentu saja ini bagi yang mempunyai tabungan," katanya, Rabu (7/11).

Hal lain yang mendorong nelayan  tetap melaut di tengah tinggainya gelombang ialah tingginya harga jual ikan saat musim angin utara. Alasan ini disampaikan Dasri, nelayan Teluk Bakau, Kecamatan Gunung Kijang. Ditemui selepas azan maghrib tiba, mantan tenaga kerja indonesia (TKI) di Malaysia dan Singapura selama tujuh tahun ini mengakui jika harga ikan saat musim angin utara cukup menggiurkan nelayan.

Namun ia sekarang tak ingin mengambil resiko saat musim angin utara datang. Kelong yang saat ini dipakai memang miliknya sendiri, dibangun dari hasil merantaunya sebagai TKI. Ia lebih suka tinggal di rumah, menemani istri dan anaknya sambil mencari pekerjaan sambilan di darat.

Bagi dirinya, jika turun ke laut saat angin musim utara bisa mendatangkan dua kerugian. Pertama soal keselamatan, kedua ketahanan kelongnya. Untuk membuat satu kelong, dibutuhkan sekitar Rp80 juta. Belum speedboat penariknya. Sabri menyebut angka Rp20-an juta untuk membeli speedboat bekas bermesin 32 PK (paarden kracht, bahasa Belanda untuk kekuatan mesin) seperti miliknya.

"Saya memahami jika ada nelayan mempertahankan kelongnya yang terserat arus hingga meninggal saat musim angin utara karena harga kelong memang mahal," jelasnya.

Kadang pemilik kelong membawa peralatan menangkap ikan ini ke tengah laut lalu meninggalkannya. Kelong akan ditarik lagi ketika dirasa sudah menjerat banyak ikan. Ketika baru saja dipasang, pemiliknya baru tiba di rumah namun melihat angin musim utara mengganas, pilihannya ialah segera kembali ke kelong untuk menyelamatkannya.

"Tak harus membawanya ke tempat awal ia membawa, bisa saja ke pulau terdekat untuk berlindung," sambungnya.

Malam itu, Tanjungpinang tak menjumpai tauke yang bisa dimintai keterangan soal harga ikan saat cuaca normal dan angin musim utara. Hanya satu orang berhasil dimintai keterangan melalui ponsel yang nomornya diberikan oleh seorang warga Berakit. Tauke yang tak mau disebutkan namanya ini mengatakan, bilis per kilogram dibeli Rp30-an ribu saat cuaca normal dan Rp42-an ribu saat angin musim utara. Ikan selikur dari Rp7.000 menjadi Rp10 ribu per kilogram, sotong dari Rp23-an ribu menjadi Rp30-an ribu. Saat ditanya soal berapa rata-rata jumlah ikan yang didapatkan satu kelong per hari, ia menutup ponselnya dan kemudian tak mengaktifkannya.

Informasi diperoleh Tanjungpinang Pos dari Yusran, Ketua Kelompok Kelong Nelayan Desa Malang Rapat, yang mengatakan jika beruntung nelayan bisa membawa pulang 100 kilogram ikan. Paling sedikit dapat 50 kilogram ikan.

Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk sekali melaut, seperti disampaikan Dasri, bisa mencapai Rp200-an ribu. Jumlah itu untuk solar, makan dan lainnya. Pengeluaran lain ialah membeli jaring dan cat untuk pelapis speedboat atau sampan agar tak kemasukan air. Meski ini tak setiap hari, namun harus dilakukan karena mendukung jumlah tangkapan ikan.

***

Pemerintah Kabupaten Bintan mencoba memberikan pilihan bagi warga, termasuk nelayan, untuk membudidayakan ikan air tawar. Bupati Bintan, Ansar Ahmad melakukan panen lele satu ton yang dibudidayakan oleh Kelompok Usaha Bersama (Kube) Permai Bersatu, di Kelurahan Tanjungpermai, Kecamatan Seri Kuala Lobam (SKL), pertengahan Desember lalu. Diharapkan ke depan usaha ini lebih berkembang, karena kebutuhan pasar masih tinggi.

Kasi Pengembangan Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bintan, Andean Salmon, didampingi Pengelola Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Agri Bintan Daniel juga mengatakan kebutuhan lele untuk Batam, Bintan dan Tanjungpinang mencapai 360 ton sebulan. Ini belum bisa dipenuhi pembudidaya lokal yang hanya mampu menyediakan 231 ton per bulan.

"Kekurangannya kira-kira 129 ton akhirnya dipenuhi dari lele impor Malaysia," ujarnya saat penutupan pelatihan budidaya ikan air tawar yang digelar DKP Bintan bekerjasama dengan P4S Agri Bintan, di Sebong Pereh, Kecamatan Teluksebong, Bintan, Kamis (20/12).

Peluang ini, menurut seorang pembudaya lele, Daniel, bisa dimanfaatkan siapa sja, bahkan nelayan ketika musim angin utara tiba. "Angka permintaan semakin meningkat. Padahal merawat lele ini mudah, murah, cepat serta stabil dan tidak tergantung musim," ujarnya.

Untuk program ini Pemkab Bintan akan memberikan dukungan yang dibutuhkan. Wakil Bupati Bintan, Khazalik, saat temu wicara Bdengan masyarakat di Kantor Camat Bintan Utara di Tanjunguban, 19 September membeberkan Pemkab Bintan akan membangun pabrik pakan tahun ini di Tembeling. Diharapkan bisa membantu pembudidaya dalam meringankan tingginya harga pakan ikan.

Sedangkan manajerial dan teknik pembudidayaan, akan didatangkan tenaga ahli yang berpengalaman dari Jawa. “Dari teknik pemilihan bibit yang baik, penyediaan pakan, perawatan, bahkan pengobatan dari penyakit akan diadakan pelatihan si Bintan," sambungnya.

Jika pelatihannya di Bintan, peserta akan menularkan ilmunya kepada pembudidaya yang belum sempat mengikutinya. Pembudidayaan ikan air tawar ini, kata Wabup, juga bisa menjadi latihan bagi seluruh anggota keluarga dalam usaha wiraswasta. Ibu rumah tangga, anak bisa dilibatkan untuk belajar berwiraswasta.

Namun nelayan sepertinya belum sepenuhnya tertarik untuk mencobanya. Seperti diakui Ketua Kelompok Kelong Nelayan Desa Malang Rapat, Yusran pada pertengahan November silam. Meski pemerintah telah memberikan bantuan untuk usaha budidaya ikan air tawar di darat kepada sejumlah nelayan, nelayan tetap memilih ke laut karena pemikiran nelayan setiap malam dapat langsung membawa uang. Sementara kalau usaha budidaya di darat uang yang diperoleh lama.

"Harus menunggu panen dahulu," katanya.

Pernyataan ini senada dengan Syukur, ia merasa lebih senang mendapatkan uang setiap hari dari hasil menjual ikan daripada pekerjaan lain seperti berkebun atau membudidayakan ikan air tawar yang butuh waktu tertentu baru mendapatkan hasil. (adi)

Senin, 10 Desember 2012

Renungan ku@

TANJUNGPINANG - Pernah tidak percaya dengan adanya aturan hidup dalam mencukupi kebutuhan. Dan pernah cinta pada sesuatu namun tidak memikirkan siapa kamu sebenarnya.

Saat ini mulai berbenah diri dan saling introfeksi diri siapa aku dan mereka. "sesungguhnya manusia itu tidak punya daya dan upaya," ingat itu


Jangan pernah lupa kalau hari ini kita masih punya kecukupan, dan masih banyak mereka yang masih sangat membutuhkan. urusan perjalanan hidup hanya tuhan yang memberi jalan dan hanya tuhan yang memberikan dukungan.


Suhardi@ jangan pernah mengahabiskan waktu dengan hal yang sia-sia, jangan pernah habiskan waktu hanya untuk bersenang-senang. (adi)

Saat Tulisan itu masuk media masa. . .

http.tanjungpinang pos.com

ALAMAK Tuntut Pemerintah Kepri Transaparan

TANJUNGPINANG - Aksi unjuk rasa puluhan mahasiswa yang tergabung di Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (ALAMAK) kota Tanjungpinang

berlangsung ricuh didepan kantor gubernur Provinsi kepri jalan basuki rahmat Tanjungpinang.

Aksi yang dilakukan mulai dari berjalan kaki dari lapangan pamedan dengan iringan mobil patwal polisi puluhan mahasiswa juga berorasi

sambil mengibarkan bendera dari masing-masing organisasi mereka seperti HMI, FAM, FAM, Formasi, Pemuda Nasdem DPD kota

Tanjungpinang dalam unjuk rasa puluhan mahasiswa ini mereka menuntut agar pemerintah provinsi kepri agar lebih Transparansi dan

menindak tegas atas pembangunan dan pejabat-pejabat yang melakukan tindakan korupsi, dimana saat ini masih menjabat sebagai pegawai

negeri di pemerintahan daerah baik kota maupun provinsi kepri.

Suaeb kordinator lapangan yang juga mahasiswa UMRAH menuturkan dalam unjuk rasa kali ini sekaligus menyambut hari Anti Korupsi kita

mengharapkan kepada kepala pemerintahan Provinsi kepri HM Sani agar bertindak Transparansi terhadap pembentukan provinsi kepri yang

selama ini dijabat. ujarnya Senin (10/12) di Kantor Gubernur Tanjungpinang

"Kita juga menutut kepada Duo HMS untuk berani menuntuk tuntas terhadap penggunaan dana hibah UMRAH sebesar Rp64 miliar yang diduga

melibatkan sekda kepri dan yayasan Pendidikan Kepri, Hingga saat ini tidak pernah di proses oleh penegak hukum," timpal Indra kepada

wartawan

"Penegak hukum di kepri saat ini tidak berani mengusut tuntas sejumlah kasus kerupsi. Dan kami juga mengaharap agar pihak KPK turun ke

kepri, untuk mengusut tuntas sejumlah pelaku-pelaku korupsi yang menggurita dan berkepanjangan,"tambahnya

Dalam unjuk rasa mahasiswa tersebut pantuan Tanjungpinang Pos telihat puluhan mahasiswa juga membakar BAN bekas. Dan dillanjuti aksi

tersebut di depan gedung kantor Gubernur Provinsi kepri.

Aksi ricuh bersama petugas keamanan pun tidak terelakkan niat pengunjuk rasa ingin bertemu dengan pejabat tinggi DUO HMS berujung

ricuh. karena dihadang oleh petugas satpol dan kepolisian.

Aksi dorong terjadi hingga sempat berkali-kali gedung kantor Gubernur dilempari dengan telor yang juga sempat mengenai petugas jaga.

Aksi unjuk rasa juga dilakukan mahasiswa yang tergabung di ALAMAK di dalam kantor dengan melakukan Sweping (mencari) kedalam kantor

hingga ke depan kantor BKKD yang juga pada saat itu dihadang oleh petugas satpol dan kepolisian.

Aksi unjuk rasa mahasiswa ini kembali ricuh setelah melakukan Sweping kedalam gendung kantor gubernur, karena puluhan mahasiswa

merasa tidak ditanggapi aksinya oleh kepala daerah, karena menurut salah satu petugas jaga saat ini gubernur tidak berada ditempat

malahan sedang istirahat karena kondisi yang kurang sehat, sedangkan wakil gubernur sedang ada pertemuan di luar daerah yang juga

menghadiri agenda pertemuan sejumlah kepala daerah.
=========================

Aksi sontak berlangsung memanas akibat dorong-dorongan dengan petugas keamanan salah satu dari puluhan mahasiswa juga sempat terjatuh

ditengah keramaian aksi dorongan dengan petugas itu, Hal ini sontak membuat puluhan mahasiswa merasakan lebih terpancing emosinya

karena di samping melihat rekan mereka yang terjatuh, puluhan mahasiswa juga dibuat geram karena ucapan tidak enak yang dilontarkan

salah satu pegawai yang juga ikut menjaga di depan kantor gubernur provinsi kepri itu. (adi)